Wanita Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an Menurut Hasan Al-Banna (6) Wanita Dalam Al-Qur’an
Tsaqafah Islamiyah
31/8/2009 | 10 Ramadhan 1430 H | 789 views
Oleh: Asy-Syahid Hasan Al-Banna
www.al-ikhwan.net

Kita memuji Allah swt. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.

Ikhwan tercinta….

Saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh….

Ikhwan tercinta…

Tema kajian kita pada malam ini adalah “Wanita dalam Al-Qur’anul Karim.” Kita telah memulai serial kajian kita tentang kandungan Al-Qur’anul Karim. Kajian serial ini telah berlangsung lama. Memang, wajar saja ia berlangsung lama, karena kandungan kitab Allah ini secara keseluruhan adalah kebaikan semata. Orang yang membaca kitab Allah swt. pasti merasa seakan-akan berada dalam kebun-kebun yang penuh dengan buah-buahan yang dapat dipetiknya. Mengenai hal ini, Ikhwan sekalian, saya terkesan oleh ucapan Sayidina Abdullah bin Mas’ud, “Jika kamu membaca Al-Qur’an ‘Alif ~Lam, Haa Miim’, seakan-akan kamu mampir di kebun-kebun yang dipenuhi berbagai buah-buahan.”

Kitab Allah swt. dengan gayanya yang khas dan indah, memiliki komposisi unik yang tidak mungkin dapat ditemukan kecuali padanya. Logika yang cermat dalam bentuk ungkapan yang paling indah digunakan untuk membahas tema-tema yang paling remeh sekalipun. Seakan-akan seseorang berada di salah satu koleksi logika yang paling kuat.

Ikhwan…

Sesungguhnya barangsiapa membaca sejarah bangsa-bangsa, niscaya menemukan bahwa manusia itu mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap wanita. Perbedaan itu sampai pada kategori mengundang keheranan. Ia akan menemukan bahwa sebagian dari mereka, misalnya, ada yang menganggap bahwa wanita adalah budak. Ada yang menganggapnya sebagai sampah, dan ada pula sebagian kelompok yang tidak memandang wanita selain sebagai hiburan dan permainan. Hal itu masih berlaku, bahkan dalam pandangan bangsa-bangsa modern yang mengklaim bahwa kebanggaan terbesarnya adalah penghormatan terhadap martabat wanita, kebangkitan kaum wanita, dan penyempurnaan hak-hak kaum wanita.

Di kalangan bangsa-bangsa ini sendiri, wanita dan kedudukan wanita tidak mencapai tingkat yang menjadikannya dapat memperoleh hak atau menempati posisinya secara benar. Anda mungkin heran, Saudara-saudara, bahwa masyarakat Arab memiliki pandangan dan penilaian yang campur aduk tentang wanita. Suatu kali di mana masih terdapat beberapa kabilah Arab, mereka menganggap wanita sebagai manusia yang mempunyai hak sebagaimana manusia lain, sehingga mereka kadang-kadang mengambil pendapatnya dan kadang-kadang memberinya kebebasan memilih.

Ada beberapa contoh mengenai hal itu; Syamas bin La’iy, seorang pemuka salah satu kabilah Arab, pernah dicela dengan keras oleh seorang penyair. Ketika penyair tersebut berhasil ditangkapnya, ia ingin membunuhnya. Ia menemui ibunya dengan muka berseri-seri. Ibunya berkata, “Aku melihat di wajahmu tergambar tanda-tanda kegembiraan.” Ia menjawab, “Benar Ibu. Saya telah berhasil menangkap penyair yang telah mencelaku.” “Apa yang akan kau lakukan?” tanyanya. Ia menjawab, “Tentu saja, saya akan membunuhnya.” Ibunya berkata, “Di manakah kearifan dan kepintaranmu, wahai putra La’iy? Seorang penyair berkata tentang dirimu, sedangkan perkataannya tersebar di tengah-tengah masyarakat, lantas siapakah yang kau anggap dapat menghapuskan celaannya ini?” “Jika tidak demikian, lalu apa yang harus saya lakukan?” tanyanya. Ibunya menasihati, “Perlakukan dia dengan penuh hormat, wahai Syamas. Perlakukanlah dia dengan baik, lantas biarkanlah dia sendiri yang menghapus celaan yang pernah dilontarkan kepadamu. Jika tidak demikian, maka tidak akan ada orang yang dapat menghapuskan celaannya yang telah melekat padamu selama-lamanya.” Syamas bin La’iy benar-benar melaksanakan pesan ibunya dan mengikuti sarannya. Padahal ia hanyalah seorang wanita.

Ikhwanku…

Saya katakan, di saat wanita pada sebagian kabilah diperlakukan demikian, beberapa kabilah yang lain justru mempunyai kebiasaan mengubur anak perempuan hidup-hidup dan memingit wanita di rumah dengan peraturan yang ketat dan keras. Tatanan bangsa Arab dalam memandang wanita dan kedudukannya mempunyai beberapa keragaman. Karena itu, sungguh mengagumkan, ternyata Al-Qur’an mendatangkan pandangan yang merupakan puncak ketinggian dan penghargaan terhadap status sosial wanita. Pandangan tersebut meletakkan masalah secara proporsional dan membahasnya dengan berani dan kokoh.

Ikhwan sekalian…

Masalah ini adalah masalah kemanusiaan yang paling penting, dibahas oleh Al-Qur’an al-Karim dengan pembahasan yang penuh keyakinan, kejelasan, keberanian, dan kebenaran. Allah swt. berfirman:

“Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak. Maka bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (An-Nisa’: 1)

Ayat yang mulia ini, Saudara-saudara, mengisahkan kepada kita dengan jelas sekali bahwa asal-usul seluruh manusia adalah satu. Seluruh manusia berasal dari satu orang. Kemudian dari satu orang ini, Allah menciptakan istrinya. Laki-laki dan wanita mempunyai asal-usul dari satu orang.

Dari sini, wahai Akhi, Anda menemukan bahwa Islam telah meletakkan permasalahan ini di atas satu prinsip. Wanita dan laki-laki bermula dari asal yang sama dan dari bahan baku yang sama. “Sebagian dari kalian merupakan bagian dari yang lain.”

Prinsip dalam masalah ini adalah persamaan. Dalam surat Asy-Syura, Allah swt. berfirman:

“Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Asy-Syura: 49-50)

Jadi, wahai Akhi, Anda menemukan bahwa Allah swt. mendahulukan penyebutan anak-anak perempuan dalam firman-Nya, dan menyebutnya sebagai anugerah yang diberikan kepada siapa yang Allah kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Allah juga menyebut anak-anak laki-laki sebagai anugerah yang diberikan kepada siapa yang Allah kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Sama saja, apakah anak yang dimiliki seseorang itu perempuan semua atau laki-laki semua, ataukah perempuan dan laki-laki, maka itu merupakan karunia dan anugerah Allah.

Jika kita memperhatikan urutan penyebutan antara perempuan dan laki-laki, Anda mendapati bahwa ayat tersebut permulaannya dengan menyebut perempuan. Hal ini untuk menghilangkan syubhat yang menganggap kekurangan pada perempuan. Dalam ayat ketiga, Allah swt. berfirman:

“Sebagian dari kamu merupakan bagian dari yang lain.”

Persamaan tidak berhenti pada kandungan secara umum ini, tetapi lebih dari itu juga termasuk dalam persoalan hukum.

Wahai Akhi, Anda menemukan ayat yang mulia mengatakan:

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pem-balasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barangsiapa mengerjakan amal-amal shalih, baik lakilaki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (An-Nisa: 123-124)

Di sini Anda menemukan bahwa Allah Yang Maha Benar swt. telah menegaskan bahwa asal-usul pria dan wanita adalah satu sumber, dan nilai umum dalam penghitungan dan pembebanan adalah satu pula. Di tempat lain, wahai Akhi, Anda mendengar firman Allah swt:

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istriistri dari jenis kalian sendiri, agar kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang.” (Ar-Rum: 21)

Jika kita perhatikan ayat ini, wahai Akhi, niscaya kita mendapati bahwa kecenderungan dan perasaan tenteram antara pria dan wanita ditegaskan di sana. Di tempat lain Allah swt. berfirman:

“Dialah yang menciptakan kalian dari satu jiwa, dan dari jiwa itu Dia menjadikan istrinya agar ia merasa tenteram kepadanya.” (Al-A’raf: 189)

Ketenteraman, ketenangan, dan perlindungan. Itulah kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan hubungan antara pria dan wanita. Seorang wanita, wahai Akhi, berlindung kepada suaminya untuk memperoleh kekuatan dan kehidupan, sedangkan pria berlindung kepada istrinya untuk memperoleh kecintaan dan kehidupan.

Al-Qur’anul Karim menegaskan hal ini dengan ungkapan yang paling tinggi nilainya, dan menegaskan bahwa hal ini adalah salah satu tanda kekuasaan Allah serta salah satu nikmat dan karunia-Nya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, agar kalian merasa cenderung dan tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa rasa cinta dan kasih sayang.” (Ar-Ruum: 21)

Dengan prinsip-prinsip teoritis ini, kita mendapatkan bahwa Al- Qur’an Al-Karim telah menghapus mitos-mitos berbagai bangsa terdahulu yang menyatakan bahwa bahan baku wanita dari tanah yang berbeda dari bahan baku pria dan bahwa wanita bukan dari jenis pria. Islam telah menghapuskan dan menghancurkan mitos-mitos ini dengan setuntas-tuntasnya.

Praktek Nyata

Adapun dari segi prakteknya secara nyata, wahai Akhi, pria adalah manusia dan wanita adalah manusia juga. Pria mempunyai tugas dan wanita juga mempunyai tugas. Kita mendapatkan bahwa Allah swt. telah menegaskan tentang keadaan struktur keluarga:

“Mereka (kaum wanita) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Tetapi para suami mem-punyai satu derajat kelebihan daripada mereka.” (Al-Baqarah: 228)

Al-Qur’an menegaskan bahwa keluarga adalah urusan mereka berdua dan terdiri dari keduanya. Hanya saja, kepemimpinan berada di tangan suami.

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa’: 34)

Hal itu, wahai Akhi, lantaran harus ada amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Pertanyaannya di sini, siapakah yang lebih berhak menjadi pemimpin, laki-laki atau perempuan? Laki-laki yang kuat, keras, dan hidup dengan akalnya, ataukah wanita yang lembut dan hidup dengan emosi, hati, dan perasaannya? Tidak diragukan bahwa tanggung jawab, beban, dan tugas ini diserahkan kepada laki-laki.

Akhi…

Inilah pembeda antara Islam dan peradaban Barat. Dalam masalah ini, wahai Akhi, Anda menemukan bahwa Islam telah mengikuti hukum tabiat dan logika. Kepemimpinan di dalamnya berada di tangan laki-laki karena ia lebih mampu melaksanakannya. Namun ini bukan berarti sikap semena-mena atau zhalim. Di sini saya teringat tentang sebuah kisah unik tentang Sayidina Abdullah bin Abas ra. Nafi’ pernah melihat beliau memangkas jenggotnya yang panjangnya melebihi satu genggaman. Maka Nafi’ menegurnya, “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah, wahai Ibnu Abbas. Sesungguhnya orang-orang rela mengendarai unta dari berbagai penjuru jazirah, datang kepadamu dan bertanya tentang agama dan Al-Qur’an, sedangkan engkau sendiri berbuat seperti itu.” Ibnu Abbas menjawab, “Celaka kamu, wahai Nafi’. Sungguh, saya ini melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah, karena itu saya berdandan untuk istriku sebagaimana dia berdandan untukku.” Nafi’ berkata, “Kalau begitu, sebutkan kepadaku alasannya dari Kitabullah.” Beliau berkata, “Dan mereka (istri-istri) itu mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya, menurut cara yang ma’ruf.”

Namun demikian kita juga mengetahui bahwa berlebihan dalam berhias itu juga tercela secara syar’i.

Demikianlah, wahai Akhi, ketika Al-Qur’anul Karim menegaskan hak kepemimpinan laki-laki atas wanita, hal itu tidak berarti mengurangi hak wanita, atau lebih mengutamakan laki-laki daripadanya. Hak ini semata-mata untuk meletakkan perkara sesuai dengan proporsinya.

Al-Qur’anul Karim juga menetapkan bahwa kesaksian seorang wanita sama dengan separoh kesaksian laki-laki.

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah: 282)

Dalam menetapkan hukum ini, wahai Akhi, Al-Qur’an Al-Karim telah menetapkan sesuai dengan komposisi dan karakteristik wanita yang hidup dengan emosi, hati, dan perasaannya yang halus, yang mudah terpengaruh oleh sikap kasar. Wanita itu lebih mudah tersentuh perasaannya dibandingkan dengan pria, dan lebih mudah lupa daripada lab-laki.

Dalam pengadilan-pengadilan Barat, mereka mengatakan, bahwa orang-orang yang bersumpah, jika di antara mereka ada wanita, sedangkan kasus yang terjadi itu sangat menyentuh perasaan, maka wanita-wanita yang bersumpah itu harus meninggalkan ruangan. Mereka kemudian duduk menangis lantaran kondisi di seputar kasus yang dikemukakan dan dimintakan keputusannya dari mereka. Tangisan ini berarti bahwa mereka telah mengeluarkan penilaian dengan nyata, meskipun prosedur perundang-undangan belum dilaksanakan secara lengkap.

Wahai Akhi, mudah terpengaruh dan mudah lupa merupakan karakter yang nyata dan kodrati dari seorang wanita. Karena itu, Allah Yang Mahabenar swt. menetapkan jaminan dalam kesaksian:

“…supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah: 282)

Wahai Akhi, dari segi pelaksanaan, Anda menemukan bahwa Al- Qur’an Al-Karim telah memerintahkan wanita untuk menahan pandangannya dan memerintahkan pria juga melakukan hal yang sama:

“Katakan kepada kaum pria yang beriman, hendaklah mereka menahan sebagian dari pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian pei’buat. Dan katakan kepada kaum wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan sebagian dari pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.” (An-Nur: 30-31)

Jadi, Allah Yang Mahabenar swt. di samping berwasiat kepada kaum pria yang beriman dengan wasiat ini, juga berwasiat kepada kaum wanita yang beriman dengan wasiat yang sama.

Namun, karena wanita itu berposisi sebagai makhluk yang lemah lembut, merupakan salah satu obyek kenikmatan lelaki, dan keindahan, maka Allah memerintahkannya agar mengenakan hijab:

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah mereka mengulurkan kerudung mereka ke dada mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau bapak mereka, atau bapak suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara mereka, atau putra-putra saudari mereka, atau wanita-wanita beriman, atau budak-budak yang mereka miliki, atau para pembantu laki-laki yang sudah tidak memiliki keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur: 31)

Setelah itu, Al-Qur’an mengatakan:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)

Jadi, wahai Akhi, Islam telah memerintahkan kepada wanita untuk menutup perhiasannya kecuali di hadapan mereka yang mempunyai hubungan mahram, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ayat-ayat yang mulia dari kitab Allah itu.

Prinsipnya, wahai Akhi, wanita dan pria itu saling memberikan ketenteraman, yang di balik itu terdapat hikmah dari Allah Yang Mahabenar, yaitu untuk melahirkan anak-anaknya dan agar memakmurkan dunia. Barangsiapa keluar dari tujuan ini, ia berarti telah melakukan kerusakan di bumi. Jadi, harus ada perincian hubungan antara wanita dan pria; siapakah yang diberi pembatasan, dan siapa pula yang diberi kebebasan.

Pembatasan untuk pihak yang lemah lembut dan tidak mampu menanggung beban berat, sedangkan kebebasan diberikan kepada pihak yang kuat dan memiliki karakter tubuh yang mendukungnya menunaikan tugas perjuangan. Jadi, Islam tidak pernah menzhalimi, tetapi melindungi kehormatan, kesucian, dan hak-hak wanita, seraya merangkai ketenteraman hubungan antara wanita dan pria. Anda, wahai Akhi, tidak akan menemukan tatanan apa pun yang sejak semula memberikan keluasan gerak bagi wanita, kecuali dalam syariah Islam.

Anda tidak akan menemukan hal itu, sekalipun dalam konstitusi Perancis yang bahkan tidak memberikan wewenang penuh kepada wanita untuk mengelola hartanya sendiri. Islam datang dengan membawa keputusan ini:

“Allah berwasiat kepada kalian tentang warisan anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An- Nisa’: 11)

Hal itu, wahai Akhi, lantaran ada hikmah yang dalam, yaitu bahwa Allah swt. menjadikan wanita sebagai pihak yang disantuni dan diberi nafkah, sedangkan laki-laki dituntut untuk memberikan nafkah. Tetapi, karena wanita masih mempunyai hubungan kekerabatan, maka ia juga harus memperoleh warisan, demi mewujudkan keadilan yang sempurna. Karena itulah ia masih mendapatkan separoh bagian dari anak laki-laki. Sebagai ringkasan dari apa yang telah saya sampaikan dalam masalah ini, Ikhwan sekalian, saya hendak katakan bahwa Islam pada dasarnya telah menjadikan wanita setara dengan pria dalam asal-usul, keberadaan, dan hak-haknya secara umum. Islam mengakui adanya hubungan timbal-balik antara wanita dengan pria.

Kemudian Islam menetapkan kewajiban-kewajiban dan aturan-aturan yang wajib dilaksanakan oleh wanita di atas suatu asas yang menjaga kehormatan wanita, mengiringi karakter-karakter khusus yang dianugerahkan Allah kepada kaum wanita. Kemudian Islam mendidiknya dengan pendidikan yang seutuhnya, dan menjadikan istri-istri Nabi sebagai teladan yang sempurna:

“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah sama dengan wanita lain, jika kalian bertaqwa. Maka janganlah kalian lembut dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

Kemudian, Allah juga menyertakan istri-istri kaum mukminin pada umumnya beserta istri-istri Nabi:

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istriistrimu, putri-putrimu, dan istri-istri kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Al-Ahzab: 59)

Anda, wahai Akhi, menemukan bahwa Allah Yang Mahabenar swt. telah menjadikan wanita sebagai perumpamaan bagi orang-orang beriman dan orang-orang kafir.

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hambahamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk neraka.’ Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, Wahai Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.’” (At-Tahrim: 10-11)

Setelah ini, wahai Akhi, Anda menemukan perpaduan yang indah:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang meme-lihara kehormatannya, serta lakilaki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al- Ahzab: 35)

Adalah kenyataan, wahai Akhi, bahwa Islam tidak pernah ber-buat semena-mena dan zhalim. Islam dan karakter manusia serta realitas kehidupan seiring sejalan, sebagaimana yang telah diciptakan oleh Tuhan manusia dan kehidupan itu sendiri. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada penghulu kita: Muhammad, segenap keluarga, dan sahabatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PULANG

Prototipe Guru Indonesia Abad 21

Bekal Nikah eps. 3