#KODE DARINYA



Ya, ini memang kisah tentang memaknai serangkaian kode dari Allah SWT bagi seorang gadis muda biasa yang bernama  Arni,  ia belum tekun belajar dan mengamalkan agamanya saat itu. Kini ? Alhamdulillaah, semoga Arni langgeng dalam mempelajari dan mengamalkan perintah  agamanya dengan rutin dan sungguh-sungguh.

Saat duduk di bangku sekolah,  Arni termasuk seorang gadis belia yang pendiam, pemalu namun tetap mudah berkawan dengan siapa saja baik itu ketika di sekolah maupun di luar sekolah. Saat itu ia memang belum berhijab.  Arni tumbuh menjadi gadis yang sangat menyukai gaya tomboi (kelelaki-lakian.red) untuk penampilannya. Berpenampilan dengan gaya cowok membuatnya merasa nyaman karena ia merasa risih dan sangat malu bila terlihat sangat wanita (feminin.red) atau pun terlihat jelas bentukan tubuh bagian depannya. Itu sebabnya ia sering berpakaian dengan kaos yang lebih besar dari ukuran yang seharusnya dan koleksi rok di lemarinya hanya satu buah, itu pun rok seragam sekolahnya, selebihnya aneka model celana. Tubuh Arni pun tergolong kecil, itu sebabnya dengan ukuran S biasanya sudah sangat pas namun ia sering minta ukuran L yang sebenarnya justru kebesaran bagi tubuh kecil Arni. Hingga sering melayanglah teguran-teguran ibunya karena seleranya tersebut. “Tak bagus jadinya Arni, terlihat sangat kebesaran dan tak sedap dipandang mata. Kamu kan wanita, jadi wajarlah berpakaian yang feminin” begitu ibunya sering mengingatkan. Namun begitulah Arni, tiap kali ibunya mengingatkan, Arni hanya tersenyum kecut dan terdiam, lalu sejurus kemudian berpindah ke lain ruangan karena tak menyenangi nasihat ibunya yang satu itu.
   
Kelas 1 SMA, ia masih bertahan dengan selera penampilannya yang kelelaki-lakian tersebut. Setiap jelang lebaran pasti Arni sudah cerewet mengenai  model baju yang akan dikenakannya di hari Raya kepada ibundanya, dipastikan bajunya itu bukan setelan rok dan harus bergaya casual. Begitulah Arni membuat standar penampilannya. Arni sempat mengaku bahwa ia memang tidak suka dilahirkan sebagai wanita karena menurutnya menjadi wanita itu merepotkan, tidak bebas dan memalukan karena ia sangat tak nyaman dengan bagian dadanya yang mulai bertumbuh, yang sebenarnya itu sangat normal. Namun menurut Arni, wanita sering menjadi objek perhatian karena hal tersebut. Dan Arni termasuk gadis yang tidak suka jadi perhatian orang lain.

Hingga suatu siang saat jam istirahat di sekolah ketika sudah kelas 2 SMA, seorang teman wanita di kelasnya yang memiliki tubuh seksi dan cantik berkata kepada Arni,
"Ni, andai saja kamu adalah pria, pasti sudah aku tembak. Sayang ya, kamu wanita”. 

Lalu dijawab oleh Arni sambil tertawa kecil, ”Hah, gila kamu. Bercanda saja. Beruntunglah aku wanita ya, hehe...”.
“Enggak Ni, serius aku. Sungguh, kalau kamu  pria, aku akan suka sekali bahkan sangat mungkin jatuh cinta dengan kamu”, timpal wanita muda nan cantik tersebut dengan mimik serius seraya menatapnya.
Arni pun hanya melihat sekilas sambil tersenyum dan sejurus kemudian terdiam menatap ke luar balkon kelas hingga bel masuk tanda istirahat berakhir berbunyi dan membuyarkan pikiran Arni siang itu.  Ternyata perkataan teman wanita sekelas Arni itu begitu membekas di hati Arni hingga sempat membuat Arni memikirkannya beberapa hari setelahnya. Meski setelah kejadian itu, Arni pun masih bersikap sebagaimana biasanya dan berusaha mengabaikan perkataan temannya itu. Hanya memang Arni jauh lebih diam dari hari-hari sebelumnya.

Ya, Arni memikirkan perkataan teman wanitanya itu karena ia bingung, sedih dan resah. “Aku kan wanita. Sangat jelas sebagai pelajar wanita (siswi.red) di sekolah. Aku pakai rok! Rambut? Ya, memang sih model potongan pendek rapi sebatas telinga, seperti cowok mungkin. Tapi kan tak seharusnya hal itu membuat ku berubah menjadi tampan bukan cantik. Huh!” sungut Arni dalam hati. Kemudian Arni kembali melanjutkan monolog batinnya, “Tapi kenapa wanita itu sampai bilang begitu ya? Dia seperti memang serius mengatakannya. Mungkinkah sangat salah gaya penampilanku selama ini? Ah, tidak. Yakinlah, Arni. Cewek itu yang memang aneh”, begitu Arni mencoba meyakinkan pemikirannya sendiri.



Masih berlanjut kode-kode spesial dariNya di kelas 2 SMA ini yang kelak mengharmonisasikan jejak perjalanan spiritual Arni. Pengalaman yang 'berkode' itu sejatinya tak ada yang tahu kecuali satu orang teman perjalanannya saat itu. Teman perjalanan? Ya, teman yang hanya bertemu dan mengobrol saat ia pergi dan pulang sekolah saja, karena memang mereka satu sekolah namun beda kelas, sebutlah namanya Sri. Sri adalah seorang gadis remaja yang berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya hidup tak rukun hingga akhirnya Sri menyenangi kehidupan malam di diskotek atau tempat kumpul-kumpul pemuda di malam hari sekedar  untuk mencari ketenangan semu. Kehidupan Sri memang tak pernah kosong dari petualangan dengan para cowok. Sungguh, bertolak belakang dengan kehidupan Arni, yang tak pernah mengalami hal semacam itu. Tapi begitulah, meski memiliki kehidupan yang bertolak belakang 180 derajat, Sri merasa sangat nyaman dengan Arni hingga menjadi teman perjalanan kala pergi dan pulang sekolah, demi menjadikan Arni sebagai  tempat cerita dan konsultasi kehidupan pribadi Sri. Lalu, kode apalagi yang dialami Arni selanjutnya? Yuk, ke TKP (Tempat Kejadian Perkara.red) hehe..



Suatu pagi di hari Minggu, saat Arni terbangun dari tidurnya, tiba-tiba Arni merasa tidak nyaman dan merasa dirinya sangat kotor saat itu, hingga tergerak untuk segera bercermin di kamarnya dan kembali merasakan kekotoran dirinya, entah kotor karena apa sebab memang tak ada noda yang terlihat di pakaian atau tubuhnya secara kasat mata. Maka ia pun segera bergegas mandi dengan sebersih-bersihnya, namun setelah itu masih saja timbul perasaan kotor pada dirinya.  Hal ini terus berulang hingga 2-3 pekan berturut-turut.  Hal ini hanya Arni simpan sendiri hingga suatu pagi akhirnya Arni memberanikan diri untuk bercerita karena benar-benar sudah pada puncaknya rasa kebingungan dan keresahan atas apa yang terjadi pada dirinya. Ia bercerita kepada Sri di suatu pagi saat berangkat sekolah, meski tak yakin akan mendapat respon yang diharapkan dapat menenangkan hatinya namun tetap ia paksa dirinya untuk bercerita sebab tak tahu kepada siapa ia harus cerita, sementara Arni termasuk introvert (tertutup.red) dan sangat pemilih jika mau cerita sesuatu.


“Sri, kenapa ya beberapa pekan ini Arni kok merasa sepertinya tubuh Arni ini sangat kotor, super kotor sekali... ya itu pun bila tak mau disebut najis. Padahal baju dan badan Arni bersih, bahkan setelah mandi dan ganti baju pun juga masih merasakan hal yang sama”, celoteh Arni pada Sri. Sri hanya terdiam. “Kok diam Sri? Minta pendapat ya. Bingung sekali ini”, desak Arni pada Sri. “Yah, mungkin disuruh bersih-bersih, jarang mandi kamu ya?” terkekeh Sri mengomentari celotehan Arni pagi itu.  “Uuh, Sri bercanda saja ah.. Arni ini serius, tidak sedang bercanda. Sungguh bingung. Pusing!”, kesal Arni pada Sri. “Iya, iya maaf.. Aku juga tak paham, Ni”, jawab Sri pada Arni. Akhirnya keduanya pun terdiam dan Sri pun kembali curhat akan kehidupannya dan Arni hanya tersenyum, tertawa kecil dan tidak banyak komentar akan curhatan Sri hari itu.

Seharian itu kata "bersih-bersih" dalam percakapan Arni dengan Sri tadi pagi saat berangkat sekolah terus mengusik pikirannya mencoba menemukan makna dari semua keresahan yang dialaminya ini. "Hmm, bersih-bersih? Apa maksudnya? Apakah aku harus mandi yang lebih banyak lagi? Ataukah ada makna lainnya? Bertobatkah? Kenapa harus bertobat? Memang aku salah apa?Sehingga berdosa seperti itu", tanya Arni bertubi-tubi dalam hati. Memang terkesan sombong dan cukup kritis pemikiran Arni saat itu.


Setelah hari itu, sempat berkurang dan tak terpikirkan lagi rasa ketidaknyamanan itu selama beberapa bulan, karena Arni menolak untuk memikirkannya dan memilih bersikap apatis. 


Setelah berjalan satu setengah semester di kelas 3 SMA, tiba-tiba timbul hasrat besar nan kuat pada diri Arni untuk berhijab. Ia sempat meragu selama beberapa hari, apakah akan diizinkan sebab ia sudah pernah mencoba menyampaikannya melalui candaan dengan ibunya di rumah dan ditolak keras saat itu. Nah, apalagi ini jika memang berbicara serius.  Setelah berpikir keras untuk meyakinkan diri dan berkomunikasi cukup lama dengan keluarganya agar diizinkan berjilbab, Alhamdulillaah akhirnya Arni dapat berhijab juga pada kelas 3 SMA itu. Alhamdulillaah, segala kekhawatiran dan kesulitan yang membayangi diri ketika tekad sudah bulat untuk berhijab serta merta pupus ..


Meski Arni harus berpikir kreatif saat itu bagaimana mensiasati seragam sekolahnya yang masih berlengan pendek dan rok pendek. Ini memang kesepakatan Arni  dengan keluarga agar diizinkan berhijab , maka ia pun harus bertanggung jawab menyiapkan kebutuhan berhijabnya sendiri. Sementara untuk beli seragam baru tak mungkin karena tinggal beberapa bulan lagi dan Ibunya mengancam tak mau membelikannya. Sebab ibunya berkehendak Arni berhijab setelah lulus SMA saja namun Arni berpikir hal itu tak bisa ditunda lagi. Begitu besar dan kuat keinginannya untuk dapat berhijab. Akhirnya Allah SWT pun menguatkannya, Arni berhasil menemukan cara penyelesaiannya. Bergegaslah ia meminjam kemeja putih milik kakak perempuannya dan meminjam jilbab serta rok dari sana-sini. Ya begitulah Arni mulai menjalani kehidupan barunya, hingga setelah beberapa pekan hati ibunya luluh juga karena melihat kesungguhan anaknya untuk berpakaian sebagaimana yang diperintahkanNya sehingga Ibunya mau membelikan seragam sekolah berlengan panjang dan beberapa jilbab di pasar untuk Arni.


 Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), (yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah la'nat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk.
(Al Mu'min: 51-52)


Sejak awal, Arni memang merasa mantap dan yakin jika Allah pasti akan menolong dan memudahkannya untuk berhijab. Sebab ia berpikir bahwa ia sedang berproses untuk menjadi hambaNya yang taat, sehingga tentu Allah akan memberikan jalannya dan memudahkannya, kalaupun ada kesulitan itu semata hanya untuk menguji kesungguhan dirinya akan niat yang sudah ditanamkan di hati.


Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al Ankabuut: 2-3)


Setelah berhijab, kegelisahan Arni selama ini mulai mereda meski belum hilang seutuhnya sebab ia masih dalam proses belajar menutup aurat, sehingga ketidaknyamanan yang dulu ia rasakan masih sesekali muncul. Hingga akhirnya setahun setelah itu, ia sudah tak mengalami perasaan itu kembali. Apa sebab? Ia sudah menutup aurat dengan syar’i. Jilbab menutupi dadanya dan berpakaian yang tak membentuk tubuh serta tak menerawang lagi. Sebelumnya, Arni belum seperti itu karena belum tahu bahwa cara berhijab yang benar adalah seperti itu.  Semua pemahaman itu ia dapatkan ketika bergabung ke dalam kelompok mentoring keislaman setiap akhir pekan di sekolahnya. Disanalah ia belajar bersama teman-teman sekolahnya menyempurnakan pemahaman akan ajaran agamaNya di bawah bimbingan kakak mentornya.


Hingga akhirnya Arni sadar bahwa segala kegalauan yang timbul dalam dirinya selama ini adalah kegalauan vertikal (keresahan yang timbul pada seorang hamba dengan sang PenciptaNya.red) melalui serangkaian kode yang Allah SWT titipkan pada dirinya agar ia segera menuju pribadi muslimah yang utuh dan menyeluruh dalam berislam, sebab dapat dipastikan setelah itu ia tak merasakan kegundahannya kembali. "Masya Allah, mungkin ini ya makna "bersih-bersih" yang kudengar dari Sri waktu dulu" pekik Arni dalam hati.
Bahkan kini, ia justru kian bersyukur dilahirkan sebagai seorang wanita yang beragama Islam.  Ia tak malu lagi menampakkan dirinya sebagai seorang wanita dalam balutan busana syar’i muslimah. Bahkan ia merasa begitu terjaga dan dimuliakan oleh semesta ketika ia telah berhijab dengan benar. Ia seperti keluar dari ruangan yang kelam menuju ruangan yang terang benderang dan menyejukkan.


“Allahu Akbar.. Ternyata, ketenangan hidup itu kudapatkan dengan mentaati perintahMu dan menjauhi  diri dari segala laranganMu.. Inilah yang aku butuhkan sejatinya dalam separuh perjalanan kehidupanku kemarin dan sisa perjalananku kelak sebagai seorang muslimah. Duhai Rabbi, betapa lembutnya kau mengingatkan hamba.. Kumohon jagalah hamba untuk senantiasa berada dalam naungan ridhaMu.. Jadikanlah hamba wanita yang shalihah, cerdas dunia akhirat dan matikanlah hamba dalam keadaan syahid dunia dan akhirat.. Aamiin..Laa hawla wa laa quwwata illa billah ...  Alhamdulillaah”, ujar Arni penuh do'a dan syukur dalam hatinya.




Renungan:
Imam Ja’far al-Shadiq as berkata,”Jika Allah mencintai seorang hamba, Allah ilhamkan kepadanya ketaatan, Allah biasakan ia dengan qana’ah (menerima apa yang ada), Allah karuniakan baginya pemahaman agama, Allah menguatkannya dengan keyakinan, Allah cukupkan baginya dengan sifat al-kafaf, Allah memakaikannya dengan sifat al-‘afaf. Sebaliknya jika Allah membenci seorang hamba maka Allah jadikan dia mencintai harta dan Allah mudahkan baginya untuk memperolehnya, Allah ilhamkan kepadanya dunianya, Allah serahkan dia pada hawa nafsunya, maka ia mengendarai al-‘inaad, ia mudah berbuat fasad, dan menzhalimi hamba-hamba (Tuhan)”
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PULANG

Prototipe Guru Indonesia Abad 21

Bekal Nikah eps. 3