Kembali
Akhir pekan kemarin, via whatsapp, saya diminta kembali ke sana. Mendapat kabar demikian, agak berkecamuk rasa di hati dan akal.. Hingga tak tahu harus merasa bahagia, syukur atau apa. Tapi, Alhamdulillaah.. Allah melalui bisikan jiwa masih mengingatkan diri ini agar tidak lupa ucapkan Alhamdulillaah untuk setiap yang terjadi pada diri.
Alhamdulillaah. Kemudian tersenyum ringan.
Iya akhir pekan ini lebih tepatnya diri ini diminta kembali ke sana setelah 6-8 bulan lamanya diminta 'tinggal' di suatu titik.
Pemindahan ke titik B ini ( kita sebut saja demikian ya dan titik sebelum dipindah kita sebut sebagai titik A) terjadi setelah beberapa bulan Bapak wafat dan saat itu masih dalam tahap pemulihan jiwa jilid empat serta pemulihan fisik yang baru pulih setelah beberapa kali sering drop.. Dan akhirnya ditambah dengan perintah pindah itu untuk saya seorang diri. Yang lebih sadis adalah semua itu dilakukan frontal hehe.. Hingga akhirnya orang yang 'melakukannya' menganggap itu sebagai cara terbaik yang bisa dilakukan untuk hadirkan kesadaran saya. Ya terserah beliaulah hehe.. Suka suka. Aku mah apa atuh.
Alhamdulillaah semua saya bisa lalui tanpa beban yang berarti. Bersyukur banget Allah masih meringankan semuanya. Sebab banyak yang berpikir khawatir atas apa yang diputuskan ke saya itu akan membuat saya pensiun dari semuanya. Yaa Rabb... Jauhkanlah hamba dari segala niat dan 'amal tidak baik itu.. Aamiin.
Alhamdulillaah Allah masih kehendaki dan izinkan saya disini, membersamai ini semuanya. Hingga akhirnya saya dikembalikan lagi ke titik A dan melanjutkan apa yang sudah dan masih berjalan disana.
Sedih sebenarnya mendapat stigma dan keputusan demikian. Tapi saya sadar segala sesuatunya disikapi berdasarkan apa yang mereka bisa pahami tentang saya dan apa yang memang sesuai pemahaman mereka. Bila berbeda pastikan itu tertolak. Pemahaman dan sudut pandang harus sama disini.
Namun Allah sudah mempersiapkan hal itu semua jauh sebelum segala kejadian beruntun itu hadir. Sst, sebenarnya saya sudah dibiasakan olehNya mengalami kejadian beruntun yang semuanya tidak ringan mungkin untuk diterima jika dilihat dari sisi psikologis manusia. Allah sudah melatih dan mempersiapkan saya hingga saya kuat lalui semuanya, hingga akhirnya berhasil mematahkan segala prasangka negatif banyak orang akan implikasi dari semuanya.
Dan memang saya sudah terbiasa disalahkan kok hehehhe.. Walau harusnya itu bukan kesalahan saya, kecipratan yang membasahkan.
Diri, jiwa, akal, ruh saya ini milik Allah bukan milik saya.. Bukankah wajar bila akhirnya ada kesempatan atau pun hal yang tidak bisa kita hela, tidak bisa kita sesuaikan sebagaimana maunya dan harapnya diri kita. Meskipun hal itu adalah bentuk ikhtiar manusia dan lazimnya semua itu bisa dilakukan oleh banyak ribuan manusia, namun lupakah kita bahwa Allah memiliki sifat bebas berkehendak berbuat sesuatu terhadap makhlukNya. Bagaimana jika Dia berkata "Ya" untuk jutaan jiwa manusia namun Dia berkata "Tidak" untuk satu jiwa manusia? Apakah akhirnya satu jiwa ini patut dianggap salah, ingkar dan semacamnya? Hanya karena ia tak bisa berlaku sama dengan lainnya? Dalam pemahaman saya, harusnya tidak demikian.
Seperti Elang, ... Kadang terpikir demikian. Selama masa keberadaan saya di titik B, untuk menjadi manusia yang jutaan jiwa itu saya harus melawan diri saya sendiri, yang sebelumnya tidak berhasil saya lawan. Ini bukan melawan nafsu atau amarah diri melainkan suatu hal yang mempengaruhi kemampuan, kenyamanan dan keberanian saya untuk menjadi bagian dari jutaan manusia di atas. Saya tidak bisa menjelaskannya secara lengkap dan menyeluruh, sebab beberapa pertimbangan.
Tidak hanya melawan "cengkeraman" Dia yang kuat untuk hal umum di atas tadi, melainkan juga para wanita yang merasa terusik dengan kehadiran saya. "Halus namun menyentuh". Masalah klasik dalam hidup saya. Ironis.
Maka, menjadi bodoh tanpa membodohi dan dibodohi serta bersembunyi adalah solusi terbaik untuk menjawab dan atau meminimalisir dua hal di atas sekaligus. Alhamdulillaah.
Komentar
Posting Komentar